Sabtu, 11 April 2015

Tidak Punya Kota

Bukan tentang kebanggaan tanah yang katanya tanah Surga. Bukan tentang kebanggaan negeri yang katanya Gemah Ripah Loh Jinawi. Bukan tentang kebanggaan akan nusartara yang terdiri dari beribu-ribu gugusan pulau. Bukan tentang kebangaan  kekayaan akan budaya. Tetapi tentang sekelumit kegelisahan kehidupan di pelosok negeri. Kehidupan yang kotanya tak dikenal banyak orang, bahkan kaum intelektual sekalipun. Kehidupan yang di dalamnya tumbuh berbagai janin (sumber daya alam) yang melimpah. Tetapi janin (sumber daya alam) tersebut laksana terlahir dari rahim wanita pendosa. Janin (sumber daya alam) tersebut sudah dipenuhi doktrin negatif selama dalam  kandungan. Alhasil, mereka terlahir untuk tidak mengabdi kepada ibunya.

Adalah wilayah yang 2 tahun lalu  (Mei 2013) mengikrarkan menjadi provinsi baru, Kalimantan Utara. Provinsi ini beribu kota Tanjung Selor. Memang sudah selayaknya seperti provinsi pada umumnya, Kalimantan Utara terdiri dari empat kabupaten dan satu kota madya. Namun, apa yang ada di benak kalian ketika mendenganr kata “Ibu Kota?” keramaian, kemacetan, gedung bertingkat, tempat belanja yang menjamur dimana-mana. Tapi kenyataannya jauh dari espektasi kalian. Tanjung selor, sebagai ibu kota kalimantan utara tidaklah seperti layaknya  kota Jakarta, Surabaya, Balikpapan, Malang, Bandung, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Perlu kalian ketahui bahwa di Ibu Kota Kalimantan Utara keramaiannya hampir sama dengan “Kota Blitar” kota tempat saya dulu dilahirkan. Bahkan lebih ramai kota Blitar.

Saya pikir kurangnya perhatian merupakan faktor utama mengapa kota saya tidaklah maju. Terlebih ketika masih menjadi bagian dari Kalimantan Timur. Tanjung selor, kabupaten Bulungan jarang sekali dikenal masyarakat. Bahkan masyarakat kalimantan timur sekalipun pada saat itu. Teman-teman saya dari Bontang, Tanah Grogot, Samarinda, Balikpapan  bertanya-tanya ketika saya memperkenalkan diri dan menyebutkan daerah asal saya. Umpan balik yang sama dari mereka semua adalah kembali bertanya “daerah mana itu, kok saya baru dengar !”. Sungguh miris dan menyedihkan bagi saya. Tanjung Selor, Bulungan dimata mereka bukanlah apa-apa. Tidak dikenal, dan terlupakan dari provinsinya. Apalagi di mata Indonesia.

Sekarang ketika sudah menjadi provinsi barupun dilema saya semakin akut. Sarana dan prasarana tidaklah mendukung. Pertama, listrik di sini sungguh tidak layak. Jika dihitung hampir setiap hari listrik mengalami pemadaman. Entah karena faktor daya yang tidak memenuhi, kehabisan bahan bakar, atau tiang-tiang listrik yang ambruk karena hujan semalam, dan lain-lain. Padahal tambang batu bara ada dimana-mana. Matahari disana juga terkenal lebih panas. Sungai ada dimana-mana. Pembangkit Listrik Tenaga Uap, Tenaga Air dan Tenaga Surya seharusnya bisa jadi alternatif jika dibandingkan harus menggunakan energi solar.

Kedua, kondisi jalan sangat rusak parah.  Banyak hal yang menyebabkan jalan-jalan di beberapa titik mengalami rusak parah. Salah satunya kondisi tanah gambut yang disertai pembangunan jalan yang tidak terstandar. Hal ini hanya meninggalkan kesia-siaan belaka. Membuang-buang anggaran, menghabiskan uang rakyat. Meninggalkan lubang mengangga di jalan raya.

Ketiga, pembangunan berjalan lamban. Sebagai salah satu contoh adalah pembangunan jembatan yang menghubungan antara kecamatan tanjung palas tengah (salim batu) dengan tanjung palas. Isu pembangunan saya dengar sejak saya kelas VIII SMP (tahun 2007). Dulu saya dan teman-teman bahagia ketika pemerintah akan membangun jembatan ini. Karena harapan kami pembangunan jembatan tersebut akan memudahkan kami pulang kampung ketika menempuh pendidikan tingkat atas kelak. Maklum saja, daerah kami tidak ada SMA Negeri. Saat itu hanya ada satu SMK swasta dengan jurusan yang tidak kami minati. Mau tidak mau kami harus hijrah ke kota dan menumpang dengan orang-orang di kota. Sudah 4 tahun sejak isu saya dengar (tahun 2011), pembangunan memang sudah dilakukan. Tetapi selama itu yang saya lihat hanya beton besar yang terpancang di masing-masing seberang sungai. Serta rangka jembatan yang panjangnya tidak sampai seperempat. Pupus sudah harapan pulang kampung seminggu sekali. Terlebih, saat itu saya membaca di koran bahwa pembangunan jembatan salimbatu-tanjung palas masuk rekor pembangunan terlama se Asia Tenggara. Perlu kalian ketahui, sampai detik inipun, saya sudah semester 6 akhir (tahun 2015) pembangunan jembatan tersebut belum juga selesai. Jika dihitung secara kasaran kurang lebih 8 tahun pembangunan jembatan belum juga selesai. Padahal lebar  sungai hanya 180 meter. Semoga, kali ini saya tidak menemukan koran yang memberitakan bahwa pembangunan ini masuk rekor pembangunan terlama sedunia. Dan semoga lagi, pembangunan jembatan ini cepat terselesaikan. Agar mimpi kami pergi ke kota dengan mudah cepat terkabulkan.

Keempat, air bersih tidak melimpah. Banyaknya sungai di daerah saya tidak menjamin kemudahan mengakses air bersih. Rata-rata warga mengandalkan air hujan sebagai persediaan air bersih. Mungkin kalian akan bertanya “apakah tidak ada PDAM di kota?”. Saya akan menjawab “Ada”. Namun keberadaannya patut dipertanyakan. Mengapa dipertanyakan? Ya, karena kualitas airnya masih kurang bersih. Selain itu kelancaran mengalirnya dapat dikatakan “tidak lancar”.  Mungkin kalian akan bertanya lagi “Lalu bagaimana air bersih di desa?”. Ya, di desa air bersih hanya mengandalkan air hujan. Air hujan tersebut digunakan sebagai persediaan masak saja. Untuk kebutuhan lainnya warga menggunakan air sumur yang kejernihannya dapat dikatakan tidak jernih sama sekali. Jika boleh saya simpulkan “sekarang sumber air bersih masih jauh”.

Kelima, banjir bandang yang menenggelamkan beberapa kecamatan sekaligus merendam ibu kota. Belum genap dua tahun menjadi Provinsi Baru, Kalimantan Utara harus dihadapkan dengan problem yang selevel dengan permasalahan di Ibu Kota Negara. Katanya Kalimantan paru-paru dunia, hutannya terkenal belum pernah dijamah manusia. Ya, itu beberapa tahun yang lalu alias dulu. Di hutan memang bukan tangan manusia yang menjamah, melainkan tangan-tangan alat berat yang menyulap pohon-pohon menjadi lahan gersang dalam sekejap.

Selain kelima masalah yang menyebabkan kegelisahan saya. Tentu banyak lagi kegelisahan yang tidak bisa saya ungkapkan. Lalu, apakah saya harus mengaku bahwa saya punya kota. Kota yang didambkakan banyak orang. Kota yang keberadaannya didatangi banyak turis. Kota yang minimal namanya tidak asing jika didengar. Memang, kota tidaklah dilambangkan dengan keramaian dan kemacetan. Setidaknya di kota saya bisa memperoleh kemudahan akses apapun yang saya butuhkan.

_Tulisan ini saya persembahkan sebagai hadiah ulang tahun Provinsi Kalimantan Utara yang ke-2 sekaligus refleksi untuk perbaikan yang berkelanjutan_

Jumaat, 10 April 2015

Halusinasi Desa Kecilku

Masih bersemayam jiwa disana
nikmati keroncong dan denyut di bilik jantung
dengan secangkir ilusi sungguh memabukkan bila
tidak segera datang fajar menghampiriku
untuk memotong sepetak halusinasi
dalam rincik lalu lalang angin teratur
pada sela ingar bingar kota peraduan
menjalar ingin di ubun-ubun untuk
menyedu kopi buatan ibu yang rasanya tak pernah pahit

Masih bersemayam jiwa disana
labuh rindu tiada bertepi
sedang cadas ingin segera menjauh dari ketidaktahuan
paksa raga meregang dengan ruhnya yang masih bersemayam jauh disana
memikirkan kopi buatan ibu nan aromanya
membawa pilu dan menjalar kemana-mana

Sudah bersemayam raga disini, menghitung rotasi waktu
barang kali tiada berhenti sejak Adam masih sendiri
lalu menyedu kopi bukan buatan ibu
sembari berbisik tentang malam panjang pada uapnya
yang membentuk halusinasi desa kecilku

Sabtu, 3 Januari 2015

Ode Bulan Desember

Pada sepenggal malam terakhir
Raut rimbun wajahmu ditumbuhi kalut marut
Senyum hendak hengkang dari paras cemas
Ada gelisah mengisyaratkan penyesalan

Gerimis tak bersahaja
Mencabik-cabik wajah hingga menyuramnya malu
Ingin kau lepas nyawa dari ragamu
Hingga tersisa jasad

Sampai malam terakhir. Badan bernapas dalam murka bumi
Lorong waktu, ingin ia menyaksikan sejarah
Menapaki hari, bulan, dan tahun 
Sebelum tiba bulan Desember 

Segelas weski dan potongan roti
Pesta kembang api
Mencibir rimbun kalut marut parasmu
Seolah menginjak-injak dada

Sepasang kaki tak yakin ingin pergi
Karena sejarah tak benar-benar menjawab keadaan
Mengapa bulan Desember hanya ditinggalkan
Oleh sepenggal malam yang membelah langit

Sabtu, 15 November 2014

Elegi Senja

Bola matamu basah, tajam menyayat kulit ariku
Keping-keping rindu runtuh, bersama terkikisnya karang

Oh, senyummu. deburan ombak yang memabukkan
Bersama jingga. aku runtuh pada raut wajahmu, raut wajahnya

Pada suatu ketika aku akan tenggelam bersama lengking elegi
Bersama dengan tenggelamnya warna jingga
Hidup dalam serpihan abu, hingga saat kudapati celah
Untuk mengubur sunyi menjadi bara. yang menyala merekah

Bak terbitnya jingga. membawa rona pipi kembali 
Dari siluet wajahmu. Di hamparan pasir putih mengenang fatamorgana
Rona pipi, siluet wajah tak pernah benar-benar lenyap
Dari napas yang kuhirup detik demi detik

Senja, warna jingga, senyum yang memabukkan
Bait elegi telah kita ciptakan bersama
disaksikan camar, debur ombak, pasir, karang
Yang membisu

Jumaat, 12 April 2013

Konflik Sara Sebagai Pemicu Retaknya Ketahanan Nasional di Bidang Ideologi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia ialah negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang tersebar di seluruh nusantara. Setiap pulau tentunya dihuni oleh masyarakat yang memiliki kebiasaan atau budaya yang berbeda-beda disetiap daerah. Al Hakim (2002: 55) menyatakan bahwa Indonesia adalah masyarakat yang majemuk (pluralistis). Majemuk dalam artian masyarakat Indonesia memiliki berbagai keanekaragaman suku, agama, ras serta kebudayaan. Kemajemukan tersebut dapat menyebabkan perbedaan pandangan antar masyarakat yang dapat mengakibatkan retaknya ketahanan nasional di bidang ideologi.
Kaelan dan Zubaidi (2007: 166) menyatakan “Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang memiliki tingkat keberagaman yang tinggi. Apabila tingginya keberagaman tidak diimbangi dengan kebersamaan tentu dapat memicu berbagai konflik yang mengakibatkan perpecahan. Perpecahan tersebut mengakibatkan kurangnya persatuan suatu bangsa. Kurangnya persatuan dapat memicu mudahnya pengaruh negatif masuk ke dalam bangsa Indonesia. Sehingga secara tidak langsung rendahnya kesadaran akan kebersamaan mengakibatkan retaknya ketahanan nasional.
Adanya perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA)  sehingga muncul semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Semboyan tersebut bertujuan untuk mempersatukan berbagai perbedaan yang ada di Indonesia guna mencapai tujuan nasional. Bersatunya masyarakat Indonesia akan memberikan kekuatan bagi bangsa Indonesia dalam bentuk ketahanan nasional. Semakin kuat ketahanan nasional maka semakin kecil gangguan yang muncul. Sehingga ketahanan nasional sangat penting bagi kehidupan berbangsa dalam mencapai tujuan nasional.
Meskipun perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) telah dinaungi menjadi satu dalam ‘’Bhineka Tunggal Ika’’, namun pada kenyataannya masih banyak konflik sosial yang disebabkan karena perbedaan tersebut. Apabila hal ini tetap terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentu saja menyebabkan kurangnya persatuan antar warga negara. Kurangnya persatuan antar warga negara mengakibatkan mudahnya ancaman dari luar ataupun dari dalam negeri baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga mengakibatkan ketahanan nasional semakin melemah.
Berdasarkan gambaran diatas dapat diketahui betapa pentingnya ketahanan nasional di bidang ideologi guna mencapai tujuan nasional. Oleh karena itu penulis membahas tentang “Konflik Suku, Ras, Agama, dan Antargolongan (SARA) Sebagai Pemicu Retaknya Ketahanan Nasional di Bidang Ideologi” untuk dikaji lebih lanjut.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1.2.1        Mengapa ketahanan nasional di bidang ideologi penting bagi bangsa Indonesia?
1.2.2        Faktor apa saja yang menyebabkan konflik suku, ras, agama, dan antargolongan?
1.2.3        Bagaimana solusi untuk mengatasi konflik suku, ras, agama dan antargolongan?
Teknis penulisan makalah ini berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Negeri Malang (UM, 2010)


BAB II
PEMBAHASAN

2. 1  Pentingnya Ketahanan Nasional di Bidang Ideologi bagi Bangsa Indonesia
Indonesia merupakan negara yang dihuni oleh banyak suku bangsa yang beraneka ragam, oleh karena itu Indonesia dikatakan sebagai negara majemuk. Kemajemukan tersebut ditandai dengan adanya berbagai macam suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) yang tinggal dalam satu rumpun yaitu Indonesia. Al Hakim (2002: 59) menyatakan “SARA yang merupakan akronim dari suku, agama, ras, dan antargolongan ialah sebuah fenomena kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia”. Keberagaman tersebut marupakan kekayaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Misalnya dalam bidang kebudayaan, Indonesia kaya akan budaya karena keberagaman yang tinggi, sehingga memberikan keuntungan bagi bangsa  Indonesia. Namun keberagaman tersebut dapat mengakibatkan perpecahan apabila tidak dapat dikelola dengan baik. Untuk itu perlu adanya alat pemersatu bangsa agar tercipta ketahanan nasional.
Suradinata dalam Kaelan dan Zubaidi (2007: 146) mengemukakan bahwa.
Ketahahan nasional ialah suatu kondisi dinamis suatu bangsa, yang berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan, baik yang dating dari luar maupun dari dalam negeri, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan dalam mengejar tujuan nasional Indonesia.

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui betapa pentingnya ketahanan nasional bagi negara Indonesia. Ketahanan nasional penting untuk mempertahankan eksistensinya dan untuk mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia. Keberagaman yang ada di dalam bangsa Indonesia perlu dipersatukan untuk mencapai ketahanan nasional. Untuk itu perlu adanya ideologi nasional.
Kaelan dan Zubaidi (2007: 167) menjelaskan bahwa.
Ketahanan nasional di bidang ideologi adalah suatu kondisi dinamis suatu bangsa, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan ideologi di dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, rongrongan, hambatan dan ganguan baik yang datang dari dalam maupun dari luar negeri.

Pengertian ideologi secara umum dapat dikatakan sebagai kumpulan gagasan-gagasan, keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis yang menyangkut.
a.       Bidang politik
b.      Bidang sosial
c.       Bidang kebudayaan
d.      Bidang keagamaan (Soemargono dalam Kaelan dan Zubaidi 2007: 153)  
Maka ideologi negara dalam arti cita-cita negara atau cita-cita yang menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa yang bersangkutan pada hakikatnya merupakan asas kerohanian yang antara lain memiliki ciri sebagai berikut.
a.       Mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan,
b.      Mewujudkan suatu asas kerohanian, pandangan dunia, pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara, dikembangkan dan dilestarikan kepada generasi berikutnya. Notonegoro dalam Kaelan dan Zubaidi (2007: 153)
Perlu kita sadari bahwa ideologi berperan penting bagi ketahanan nasional. Ideologi mendukung ketahanan suatu bangsa karena ideologi bagi suatu bangsa memiliki dua fungsi pokok yaitu:
a.       Sebagai tujuan atau cita-cita dari kelompok masyarakat yang bersangkutan artinya nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi itu menjadi cita-cita yang hendak dituju secara bersama
b.      Sebagai sarana pemersatu dari masyarakat yang bersangkutan, artinya masyarakat yang banyak dan beragam itu bersedia menjadikan ideologi sebagai milik bersama dan menjadikannya bersatu. (online), (http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/465/jbptunikompp-gdl-sylviaocta-23234-7-ketahana-l.doc)
Kansil (1990: 91) menyatakan “Bangsa Indonesia telah memiliki ideologi yang ampuh dan telah pula kita terima sebagai pandangan hidup dan dasar negara, ialah Pancasila”. Pancasila sebagai ideologi bangsa dapat dijadikan sebagai pedoman untuk meraih ketahanan nasional, sehingga tercapai tujuan negara. Adanya semboyan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai alat pemersatu masyarakat di seluruh nusantara dapat menumbuhkan rasa nasionalisme bagi masyarakat. Persatuan tersebut tentu membentuk kekuatan tersendiri untuk menghadapi tantangan yang datang dari dalam maupun luar.
Adanya ideologi bangsa yang mempersatukan masyarakat diseluruh Indonesia akan membantu terciptanya ketahanan nasional. Persatuan itu penting karena dengan adanya persatuan dapat mencapai ketahanan nasional. Perlu kita sadari bahwa negara Indonesia sebagai suatu negara yang memiliki letak geografis yang sangat strategis di Asia Tenggara (Kaelan dan Zubaidi, 2007:145). Artinya letak geografis tersebut tidak menutup kemungkinan akan menjadi perhatian bagi banyak negara di dunia, terutama pada era globalisasi. Oleh karena itu perlu adanya ketahanan nasional yang kuat, terutama di bidang ideologi, agar tetap terjalin persatuan yang kuat antara warga negara.

2.2.  Faktor yang Menyebabkan Konflik Suku, Ras, Agama, dan    Antargolongan (SARA)
Masyarakat Indonesia yang majemuk ditandai dengan beragamnya suku bangsa, agama, ras dan antargolongan (SARA), pada dasarnya merupakan masyarakat yang rentan akan konflik (Al Hakim, 2002: 68). Keberagaman merupakan suatu ciri khas bagi bangsa Indonesia. Karena dengan adanya keberagaman tersebut Indonesia menjadi kaya akan budaya. Namun, tingkat keberagaman yang tinggi mengakibatkan antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok yang lainnya memiliki pandangan yang berbeda-beda. Sebagai contoh dalam suatu keluarga terdapat dua anak yang memiliki selera masakan yang berbeda. Perbedaan selera tersebut dapat memicu terjadinya konflik antara dua anak dalam keluarga tersebut, dalam bentuk konflik antar individu. Pada anggota keluarga saja, yang merupakan miniatur dari negara yang masih sangat sempit dapat terjadi konflik akibat perbedaan hal yang sepele. Apalagi dalam negara, dimana negara terdapat perbedaan dari berbagai suku bangsa.
Al Hakim (2002: 67) mendefinisikan konflik sebagai berikut.
Perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, paham, dan kepentingan di antara dua pihak atau lebih. Pertentangan ini biasanya berupa fisik dan nonfisik, yang pada umumnya berkembang dari pertentangan nonfisik menjadi benturan fisik, yang bias berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent) dan bisa berkadar rendah yang tidak bisa menggunakan kekerasan (nonviolent).

Berdasarkan keterangan diatas sudah cukup jelas bahwa faktor utama penyebab terjadinya konfik sara adalah adanya perbedaan ide, gagasan, dan pandangan hidup, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Hal ini juga ditegaskan oleh Putra (2011: 4) yang menyebutkan faktor yang menyebabkan konflik SARA antara lain:
a.       Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan
b.      Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
 “Pada  konsep suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) tertuang pengertian konflik horisontal yang dimotori oleh suku, agama dan ras dan juga konflik vertikal yang bersumber pada perbedaan ‘ekonomi-politik’ antargolongan” Mullah dalam Nugroho (1997: 6).
Selain itu fanatisme kesukuan juga merupakan penyebab terjadinya konflik terutama di konflik antar suku. Perbedaan ide, gagasan dan pandangan hidup terjadi karena setiap daerah memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Setiap daerah  memiliki norma-norma tersendiri dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Mereka mempunyai anggapan bahwa keyakinan yang dianut saat ini merupakan peninggalan nenek moyang mereka. Keyakinan tersebut tentu sulit untuk ditinggalkan. Untuk itu perbedaan yang berlatar belakang dari berbagai daerah perlu disatukan guna mencapai tujuan nasional.
Sebagai contoh, peristiwa Ambon dan Poso merupakan salah satu konflik antaragama, perang Sampit merupakansalah satu konflik antar etnis, dan lain-lain. Konflik-konflik yang sering terjadi pada bangsa Indonesia akan memberikan dampak negatif yang berupa terpecahnya persatuan bangsa. Terpecahnya persatuan bangsa dapat mengakibatkan kurangnya ketahanan nasional. Karena rasa nasionalisme yang dimiliki oleh masyarakat masih rendah. Hal ini disebabkan karena sifat fanatisme kedaerahan yang sanggat tinggi.
Fanatisisme kesukuan yang tinggi mendorong rasa kebersamaan antara daerah semakin kuat. Kebersamaan tersebut bisa dalam bentuk positif maupun negatif. Kebersamaan dalam bentuk positif dapat diimplikasikan dalam bentuk gotong royong, kerja sama yang baik, melestarikan kebudayaan daerah, dan lain-lain. Kebersamaan negatif dapat terjadi karena adanya konflik antara dua individu, tetapi masyarakat yang lain turut serta dalam konflik tersebut. Keikutsertaan tersebut bukannya menyelesaikan masalah tetapi malah menambah masalah semakin besar. Mereka beranggapan bahwa keikutsertaan membantu pihak yang mempunyai konflik sama dengan membela daerah mereka masing-masing.  

2.3.  Solusi Mengatasi Konflik Suku, Ras, Agama dan Antargolongan (SARA)
Konflik yang berkepanjangan dapat mengakibatkan rusaknya ketahanan nasional. Konflik tersebut terjadi karena adanya perbedaan. Perbedaan dalam sudut pandang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Al Hakim (2002: 71) menyebutkan “Konflik dapat berpengaruh baik atau jelek karena konflik merupakan kondisi alamiah dalam kehidupan’’. Berdasarkan kutipan tersebut memberikan gambaran bahwa konflik harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan perpecahan antar manusia dan disintegrasi bangsa.Untuk itu setiap orang harus dapat memahami situasi seperti ini dan memberikakn perhatian tersendiri bagaimana cara yang tepat untuk mengelola konflik.
Qodir menyatakan jika konflik melibatkan masa (agama maupun non agama), harus dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a.       Tindakan koersif (paksaan), perlu ada pengaturan administrative, penyelesaian hukum, tekanan politik dan ekonomi
b.      Memberikan insentif seperti memberikan penghargaan kepada komunitas yang mampu menjaga keterlibatan dan keharmonisan masyarakat
c.       Tindakan persuasif, terutama terhadap ketidakpuasan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi realitas sosial, politik dan ekonomi
d.      Tindakan normatif, yakni melakukan proses  pembangunan presepsi dan keyakinan masyarakatakan sistem sosial yang akan dicapai.   
Menurut Putra (2011: 5) upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) adalah sebagai berikut.
a. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu
b. Menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun consensus
c. Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
d. Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah
e.  Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan bijaksana serta efektif
Sedangkan Solusi yang ditawarkan oleh para pengamat sosial tersebut adalah berupaya mendeskripsikan akar-akar persoalan amuk massa secara mendasar, memahami dengan kepentingan emansipatoris, dan mencari jalan keluar secara praktis lewat kelenturan politik yang mengarah pada demokratisasi. Pendekatan seperti ini tidak salah, bahkan pada jenjang tertentu memiliki relevansinya, karena memang berbagai informasi sosial-ekonomi menunjukan bahwa kita mengalami tingkat kesenjangan antar daerah dan kelompok yang cukup signifikan untuk munculnya fenomena disintegrasi sosial. Bahkan pendekatan seperti ini banyak mendapat dukungan dari para ilmuwan sosial yang kurang puas terhadap pendekatan modernisme. Namun kalau diamati secara seksama, ada satu wacana yang tidak muncul, atau memang sengaja tidak dimunculkan karena kepentingan politis, dalam upaya mencari penjelas kerusuhan sosial, yaitu wacana sosiologi pengetahuan (Berger dan Luchman dalam Nugroho 1997:5).
Berdasarkan pernyataan diatas dapat diketahui solusi-solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), namun akan lebih baik apabila menghindari konflik tersebut guna mencapai keamanan dan kenyamanan agar dapat mencapai tujuan nasional. Tetapi pada kenyataannya konflik tetap saja terjadi, karena konflik merupakan hal alamiah yang tidak bisa kita pungkiri.
“SARA merupakan kenyataan sosial maka keberadaannya tidak dapat dilenyapkan. Bahkan setiap upaya untuk melenyapkan dengan dalih apapun, termasuk menuju unifikasi melalui ‘monolitikisasi’ masyarakat, cenderung akan menimbulkan keresahan, gejolak sosial, kerusuhan massa, dan pasti berakhir dengan disintegrasi sosial” Nugroho (1997:7).


BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
1.      Ideologi mendukung ketahanan suatu bangsa karena ideologi bagi suatu bangsa memiliki dua fungsi pokok yaitu sebagai tujuan atau cita-cita dari kelompok masyarakat yang bersangkutan artinya nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi itu menjadi cita-cita yang hendak dituju secara bersama dan sebagai sarana pemersatu dari masyarakat yang bersangkutan, artinya masyarakat yang banyak dan beragam itu bersedia menjadikan ideologi sebagai milik bersama dan menjadikannya bersatu.Dengan demikian adanya ideologi bangsa yang mempersatukan masyarakat diseluruh Indonesia akan membantu terciptanya ketahanan nasional.

2.  Konflik merupakan perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, paham,   dan kepentingan di antara dua pihak atau lebih. Pertentangan ini biasanya berupa fisik dan nonfisik, yang pada umumnya berkembang dari pertentangan nonfisik menjadi benturan fisik, yang bias berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent) dan bisa berkadar rendah yang tidak bisa menggunakan kekerasan (nonviolent). Pada intinya faktor utama penyebab terjadinya konfik sara adalah adanya perbedaan. Perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan ide, gagasan, dan pandangan hidup, suku, agama, ras, dan antargolongan yang berupa individu ataupun kelompok. Selain itu fanatisme suku, agama, ras, dan antargolongan juga dapat memicu terjadinya konflik.

3.  Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik SARA adalah melalui tindakan koersif (paksaan), memberikan insentif seperti memberikan penghargaan kepada komunitas yang mampu menjaga keterlibatan dan keharmonisan masyarakat,tindakan persuasif, dan tindakan normatif, yakni melakukan proses  pembangunan presepsi dan keyakinan masyarakatakan sistem sosial yang akan dicapai.selain iti dapat juga dilakukan dengan cara membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu, menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun consensus, membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa, merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah, upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan bijaksana serta efektif.

3.2 Saran
1. Bagi pemerintah
Pemerintah selaku pengatur jalannya kenegaraan hendaknya memberikan sosialisasi bagi masyarakat tentang pentingnya persatuan guna mencapai ketahanan nasional dan tujuan negara. Selain itu pemerintah hendaknya berperan sebagai figur yang dapat dijadikan contoh bagi masyarakat. Terutama dalam hal menyikapi perbedaan yang ada di Indonesia.

2. Bagi masyarakat
Masyarakat yang merupakan salah satu unsur dari terbentuknya suatu negara hendaknya menyadari bahwa di Indonesia merupakan negara multicultural. Sebagai bangsa Indonesaia, dengan adanya perbedaan tersebut tentunya kita harus bangga. Karena perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia merupakan kekayaan yang mungkin tidak dimiliki oleh bangsa lain. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar tetap menjaga perbedaan tersebut agar tidak terjadi konflik yang tidak diinginkan. Hal tersebut dpat dilakukan dengan cara saling toleransi antar suku, agama, ras, dan antargolongan. Selain itu perlu adanya kesadaran dari setiap individu bahwa bangsa Indonesia terbentuk dari berbagai macam suku bangsa. Sehingga tumbuh dalam diri individu rasa kebersamaan akan pentingnya persatuan guna mencapai ketahanan nasional.



DAFTAR RUJUKAN

  • Al Hakim, S. dkk. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Malang: UM PRESS.
  • Kaelan, & Zubaidi, A. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma.
  • Kansil, CST. 1990. Hidup Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
  • Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian. Edisi Kelima. Malang: Universitas Negeri Malang.