Sabtu, 11 April 2015

Tidak Punya Kota

Bukan tentang kebanggaan tanah yang katanya tanah Surga. Bukan tentang kebanggaan negeri yang katanya Gemah Ripah Loh Jinawi. Bukan tentang kebanggaan akan nusartara yang terdiri dari beribu-ribu gugusan pulau. Bukan tentang kebangaan  kekayaan akan budaya. Tetapi tentang sekelumit kegelisahan kehidupan di pelosok negeri. Kehidupan yang kotanya tak dikenal banyak orang, bahkan kaum intelektual sekalipun. Kehidupan yang di dalamnya tumbuh berbagai janin (sumber daya alam) yang melimpah. Tetapi janin (sumber daya alam) tersebut laksana terlahir dari rahim wanita pendosa. Janin (sumber daya alam) tersebut sudah dipenuhi doktrin negatif selama dalam  kandungan. Alhasil, mereka terlahir untuk tidak mengabdi kepada ibunya.

Adalah wilayah yang 2 tahun lalu  (Mei 2013) mengikrarkan menjadi provinsi baru, Kalimantan Utara. Provinsi ini beribu kota Tanjung Selor. Memang sudah selayaknya seperti provinsi pada umumnya, Kalimantan Utara terdiri dari empat kabupaten dan satu kota madya. Namun, apa yang ada di benak kalian ketika mendenganr kata “Ibu Kota?” keramaian, kemacetan, gedung bertingkat, tempat belanja yang menjamur dimana-mana. Tapi kenyataannya jauh dari espektasi kalian. Tanjung selor, sebagai ibu kota kalimantan utara tidaklah seperti layaknya  kota Jakarta, Surabaya, Balikpapan, Malang, Bandung, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Perlu kalian ketahui bahwa di Ibu Kota Kalimantan Utara keramaiannya hampir sama dengan “Kota Blitar” kota tempat saya dulu dilahirkan. Bahkan lebih ramai kota Blitar.

Saya pikir kurangnya perhatian merupakan faktor utama mengapa kota saya tidaklah maju. Terlebih ketika masih menjadi bagian dari Kalimantan Timur. Tanjung selor, kabupaten Bulungan jarang sekali dikenal masyarakat. Bahkan masyarakat kalimantan timur sekalipun pada saat itu. Teman-teman saya dari Bontang, Tanah Grogot, Samarinda, Balikpapan  bertanya-tanya ketika saya memperkenalkan diri dan menyebutkan daerah asal saya. Umpan balik yang sama dari mereka semua adalah kembali bertanya “daerah mana itu, kok saya baru dengar !”. Sungguh miris dan menyedihkan bagi saya. Tanjung Selor, Bulungan dimata mereka bukanlah apa-apa. Tidak dikenal, dan terlupakan dari provinsinya. Apalagi di mata Indonesia.

Sekarang ketika sudah menjadi provinsi barupun dilema saya semakin akut. Sarana dan prasarana tidaklah mendukung. Pertama, listrik di sini sungguh tidak layak. Jika dihitung hampir setiap hari listrik mengalami pemadaman. Entah karena faktor daya yang tidak memenuhi, kehabisan bahan bakar, atau tiang-tiang listrik yang ambruk karena hujan semalam, dan lain-lain. Padahal tambang batu bara ada dimana-mana. Matahari disana juga terkenal lebih panas. Sungai ada dimana-mana. Pembangkit Listrik Tenaga Uap, Tenaga Air dan Tenaga Surya seharusnya bisa jadi alternatif jika dibandingkan harus menggunakan energi solar.

Kedua, kondisi jalan sangat rusak parah.  Banyak hal yang menyebabkan jalan-jalan di beberapa titik mengalami rusak parah. Salah satunya kondisi tanah gambut yang disertai pembangunan jalan yang tidak terstandar. Hal ini hanya meninggalkan kesia-siaan belaka. Membuang-buang anggaran, menghabiskan uang rakyat. Meninggalkan lubang mengangga di jalan raya.

Ketiga, pembangunan berjalan lamban. Sebagai salah satu contoh adalah pembangunan jembatan yang menghubungan antara kecamatan tanjung palas tengah (salim batu) dengan tanjung palas. Isu pembangunan saya dengar sejak saya kelas VIII SMP (tahun 2007). Dulu saya dan teman-teman bahagia ketika pemerintah akan membangun jembatan ini. Karena harapan kami pembangunan jembatan tersebut akan memudahkan kami pulang kampung ketika menempuh pendidikan tingkat atas kelak. Maklum saja, daerah kami tidak ada SMA Negeri. Saat itu hanya ada satu SMK swasta dengan jurusan yang tidak kami minati. Mau tidak mau kami harus hijrah ke kota dan menumpang dengan orang-orang di kota. Sudah 4 tahun sejak isu saya dengar (tahun 2011), pembangunan memang sudah dilakukan. Tetapi selama itu yang saya lihat hanya beton besar yang terpancang di masing-masing seberang sungai. Serta rangka jembatan yang panjangnya tidak sampai seperempat. Pupus sudah harapan pulang kampung seminggu sekali. Terlebih, saat itu saya membaca di koran bahwa pembangunan jembatan salimbatu-tanjung palas masuk rekor pembangunan terlama se Asia Tenggara. Perlu kalian ketahui, sampai detik inipun, saya sudah semester 6 akhir (tahun 2015) pembangunan jembatan tersebut belum juga selesai. Jika dihitung secara kasaran kurang lebih 8 tahun pembangunan jembatan belum juga selesai. Padahal lebar  sungai hanya 180 meter. Semoga, kali ini saya tidak menemukan koran yang memberitakan bahwa pembangunan ini masuk rekor pembangunan terlama sedunia. Dan semoga lagi, pembangunan jembatan ini cepat terselesaikan. Agar mimpi kami pergi ke kota dengan mudah cepat terkabulkan.

Keempat, air bersih tidak melimpah. Banyaknya sungai di daerah saya tidak menjamin kemudahan mengakses air bersih. Rata-rata warga mengandalkan air hujan sebagai persediaan air bersih. Mungkin kalian akan bertanya “apakah tidak ada PDAM di kota?”. Saya akan menjawab “Ada”. Namun keberadaannya patut dipertanyakan. Mengapa dipertanyakan? Ya, karena kualitas airnya masih kurang bersih. Selain itu kelancaran mengalirnya dapat dikatakan “tidak lancar”.  Mungkin kalian akan bertanya lagi “Lalu bagaimana air bersih di desa?”. Ya, di desa air bersih hanya mengandalkan air hujan. Air hujan tersebut digunakan sebagai persediaan masak saja. Untuk kebutuhan lainnya warga menggunakan air sumur yang kejernihannya dapat dikatakan tidak jernih sama sekali. Jika boleh saya simpulkan “sekarang sumber air bersih masih jauh”.

Kelima, banjir bandang yang menenggelamkan beberapa kecamatan sekaligus merendam ibu kota. Belum genap dua tahun menjadi Provinsi Baru, Kalimantan Utara harus dihadapkan dengan problem yang selevel dengan permasalahan di Ibu Kota Negara. Katanya Kalimantan paru-paru dunia, hutannya terkenal belum pernah dijamah manusia. Ya, itu beberapa tahun yang lalu alias dulu. Di hutan memang bukan tangan manusia yang menjamah, melainkan tangan-tangan alat berat yang menyulap pohon-pohon menjadi lahan gersang dalam sekejap.

Selain kelima masalah yang menyebabkan kegelisahan saya. Tentu banyak lagi kegelisahan yang tidak bisa saya ungkapkan. Lalu, apakah saya harus mengaku bahwa saya punya kota. Kota yang didambkakan banyak orang. Kota yang keberadaannya didatangi banyak turis. Kota yang minimal namanya tidak asing jika didengar. Memang, kota tidaklah dilambangkan dengan keramaian dan kemacetan. Setidaknya di kota saya bisa memperoleh kemudahan akses apapun yang saya butuhkan.

_Tulisan ini saya persembahkan sebagai hadiah ulang tahun Provinsi Kalimantan Utara yang ke-2 sekaligus refleksi untuk perbaikan yang berkelanjutan_

Jumaat, 10 April 2015

Halusinasi Desa Kecilku

Masih bersemayam jiwa disana
nikmati keroncong dan denyut di bilik jantung
dengan secangkir ilusi sungguh memabukkan bila
tidak segera datang fajar menghampiriku
untuk memotong sepetak halusinasi
dalam rincik lalu lalang angin teratur
pada sela ingar bingar kota peraduan
menjalar ingin di ubun-ubun untuk
menyedu kopi buatan ibu yang rasanya tak pernah pahit

Masih bersemayam jiwa disana
labuh rindu tiada bertepi
sedang cadas ingin segera menjauh dari ketidaktahuan
paksa raga meregang dengan ruhnya yang masih bersemayam jauh disana
memikirkan kopi buatan ibu nan aromanya
membawa pilu dan menjalar kemana-mana

Sudah bersemayam raga disini, menghitung rotasi waktu
barang kali tiada berhenti sejak Adam masih sendiri
lalu menyedu kopi bukan buatan ibu
sembari berbisik tentang malam panjang pada uapnya
yang membentuk halusinasi desa kecilku