BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia ialah negara kepulauan yang terdiri dari
beribu-ribu pulau yang tersebar di seluruh nusantara. Setiap pulau tentunya
dihuni oleh masyarakat yang memiliki kebiasaan atau budaya yang berbeda-beda
disetiap daerah. Al Hakim (2002: 55) menyatakan bahwa Indonesia adalah masyarakat yang
majemuk (pluralistis). Majemuk dalam artian masyarakat Indonesia memiliki
berbagai keanekaragaman suku, agama, ras serta kebudayaan. Kemajemukan tersebut
dapat menyebabkan perbedaan pandangan antar masyarakat yang dapat mengakibatkan
retaknya ketahanan nasional di bidang ideologi.
Kaelan dan Zubaidi (2007: 166) menyatakan “Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang memiliki
tingkat keberagaman yang tinggi”. Apabila tingginya keberagaman tidak diimbangi dengan
kebersamaan tentu dapat memicu berbagai konflik yang mengakibatkan perpecahan. Perpecahan
tersebut mengakibatkan kurangnya persatuan suatu bangsa. Kurangnya persatuan
dapat memicu mudahnya pengaruh negatif masuk ke dalam bangsa Indonesia.
Sehingga secara tidak langsung rendahnya kesadaran akan kebersamaan
mengakibatkan retaknya ketahanan nasional.
Adanya perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan
(SARA) sehingga muncul semboyan “Bhineka Tunggal
Ika”. Semboyan tersebut bertujuan untuk mempersatukan berbagai perbedaan yang
ada di Indonesia guna mencapai tujuan nasional. Bersatunya masyarakat Indonesia
akan memberikan kekuatan bagi bangsa Indonesia dalam bentuk ketahanan nasional.
Semakin kuat ketahanan nasional maka semakin kecil gangguan yang muncul.
Sehingga ketahanan nasional sangat penting bagi kehidupan berbangsa dalam
mencapai tujuan nasional.
Meskipun perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
telah dinaungi menjadi satu dalam ‘’Bhineka Tunggal
Ika’’, namun pada kenyataannya masih banyak konflik sosial yang disebabkan
karena perbedaan tersebut. Apabila hal ini tetap terjadi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara tentu saja menyebabkan kurangnya persatuan antar warga
negara. Kurangnya persatuan antar warga negara mengakibatkan mudahnya ancaman
dari luar ataupun dari dalam negeri baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sehingga mengakibatkan ketahanan nasional semakin melemah.
Berdasarkan gambaran diatas dapat diketahui betapa
pentingnya ketahanan nasional di bidang ideologi guna mencapai tujuan nasional.
Oleh karena itu penulis membahas
tentang “Konflik Suku, Ras, Agama, dan Antargolongan (SARA)
Sebagai Pemicu Retaknya Ketahanan Nasional di Bidang Ideologi” untuk dikaji lebih lanjut.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di
atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1.2.1
Mengapa ketahanan nasional di bidang ideologi penting
bagi bangsa Indonesia?
1.2.2
Faktor
apa saja yang menyebabkan konflik suku, ras, agama, dan antargolongan?
1.2.3
Bagaimana
solusi untuk mengatasi konflik suku, ras, agama dan antargolongan?
Teknis penulisan makalah ini berpedoman pada Buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah Universitas Negeri Malang (UM, 2010)
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Pentingnya Ketahanan Nasional di Bidang Ideologi bagi Bangsa Indonesia
Indonesia
merupakan negara yang dihuni oleh banyak suku bangsa yang beraneka ragam, oleh
karena itu Indonesia dikatakan sebagai negara majemuk. Kemajemukan tersebut
ditandai dengan adanya berbagai macam suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA)
yang tinggal dalam satu rumpun yaitu Indonesia. Al Hakim (2002: 59) menyatakan
“SARA yang merupakan akronim dari suku, agama, ras, dan antargolongan ialah
sebuah fenomena kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat Indonesia”. Keberagaman tersebut marupakan kekayaan tersendiri bagi
bangsa Indonesia. Misalnya dalam bidang kebudayaan, Indonesia kaya akan budaya
karena keberagaman yang tinggi, sehingga memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia. Namun keberagaman tersebut dapat
mengakibatkan perpecahan apabila tidak dapat dikelola dengan baik. Untuk itu
perlu adanya alat pemersatu bangsa agar tercipta ketahanan nasional.
Suradinata
dalam Kaelan dan Zubaidi (2007: 146) mengemukakan bahwa.
Ketahahan
nasional ialah suatu kondisi dinamis suatu bangsa, yang berisi keuletan dan
ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam
menghadapi dan mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan, baik
yang dating dari luar maupun dari dalam negeri, yang langsung maupun tidak
langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan
negara serta perjuangan dalam mengejar tujuan nasional Indonesia.
Berdasarkan
kutipan di atas dapat diketahui betapa pentingnya ketahanan nasional bagi
negara Indonesia. Ketahanan nasional penting untuk mempertahankan eksistensinya
dan untuk mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia. Keberagaman yang ada
di dalam bangsa Indonesia perlu dipersatukan untuk mencapai ketahanan nasional.
Untuk itu perlu adanya ideologi nasional.
Kaelan
dan Zubaidi (2007: 167) menjelaskan bahwa.
Ketahanan
nasional di bidang ideologi adalah suatu kondisi dinamis suatu bangsa, berisi
keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan
ideologi di dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, rongrongan,
hambatan dan ganguan baik yang datang dari dalam maupun dari luar negeri.
Pengertian ideologi secara umum dapat dikatakan
sebagai kumpulan gagasan-gagasan, keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan
yang menyeluruh dan sistematis yang menyangkut.
a. Bidang
politik
b. Bidang
sosial
c. Bidang
kebudayaan
d. Bidang
keagamaan (Soemargono dalam Kaelan dan Zubaidi 2007: 153)
Maka ideologi negara dalam arti
cita-cita negara atau cita-cita yang menjadi basis bagi suatu teori atau sistem
kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa yang bersangkutan pada hakikatnya
merupakan asas kerohanian yang antara lain memiliki ciri sebagai berikut.
a. Mempunyai
derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan,
b. Mewujudkan
suatu asas kerohanian, pandangan dunia, pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan
hidup yang dipelihara, dikembangkan dan dilestarikan kepada generasi berikutnya.
Notonegoro dalam Kaelan dan Zubaidi (2007: 153)
Perlu
kita sadari bahwa ideologi berperan penting bagi ketahanan nasional. Ideologi
mendukung ketahanan suatu bangsa karena ideologi bagi suatu bangsa memiliki dua
fungsi pokok yaitu:
a. Sebagai
tujuan atau cita-cita dari kelompok masyarakat yang bersangkutan artinya
nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi itu menjadi cita-cita yang hendak
dituju secara bersama
b.
Sebagai sarana pemersatu dari masyarakat
yang bersangkutan, artinya masyarakat yang banyak dan beragam itu bersedia
menjadikan ideologi sebagai milik bersama dan menjadikannya bersatu. (online),
(http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/465/jbptunikompp-gdl-sylviaocta-23234-7-ketahana-l.doc)
Kansil
(1990: 91) menyatakan “Bangsa Indonesia telah memiliki ideologi yang ampuh dan
telah pula kita terima sebagai pandangan hidup dan dasar negara, ialah Pancasila”.
Pancasila sebagai ideologi bangsa dapat dijadikan sebagai pedoman untuk meraih
ketahanan nasional, sehingga tercapai tujuan negara. Adanya semboyan “Bhineka
Tunggal Ika” sebagai alat pemersatu masyarakat di seluruh nusantara dapat
menumbuhkan rasa nasionalisme bagi masyarakat. Persatuan tersebut tentu membentuk
kekuatan tersendiri untuk menghadapi tantangan yang datang dari dalam maupun
luar.
Adanya
ideologi bangsa yang mempersatukan masyarakat diseluruh Indonesia akan membantu
terciptanya ketahanan nasional. Persatuan itu penting karena dengan adanya
persatuan dapat mencapai ketahanan nasional. Perlu kita sadari bahwa negara
Indonesia sebagai suatu negara yang memiliki letak geografis yang sangat
strategis di Asia Tenggara (Kaelan dan Zubaidi, 2007:145). Artinya letak
geografis tersebut tidak menutup kemungkinan akan menjadi perhatian bagi banyak
negara di dunia, terutama pada era globalisasi. Oleh karena itu perlu adanya
ketahanan nasional yang kuat, terutama di bidang ideologi, agar tetap terjalin
persatuan yang kuat antara warga negara.
2.2. Faktor yang Menyebabkan Konflik Suku, Ras, Agama, dan Antargolongan (SARA)
Masyarakat Indonesia yang majemuk
ditandai dengan beragamnya suku bangsa, agama, ras dan antargolongan (SARA),
pada dasarnya merupakan masyarakat yang rentan akan konflik (Al Hakim, 2002: 68).
Keberagaman merupakan suatu ciri khas bagi bangsa Indonesia. Karena dengan
adanya keberagaman tersebut Indonesia menjadi kaya akan budaya. Namun, tingkat
keberagaman yang tinggi mengakibatkan antara kelompok masyarakat yang satu
dengan kelompok yang lainnya memiliki pandangan yang berbeda-beda. Sebagai
contoh dalam suatu keluarga terdapat dua anak yang memiliki selera masakan yang
berbeda. Perbedaan selera tersebut dapat memicu terjadinya konflik antara dua
anak dalam keluarga tersebut, dalam bentuk konflik antar individu. Pada anggota
keluarga saja, yang merupakan miniatur dari negara yang masih sangat sempit dapat
terjadi konflik akibat perbedaan hal yang sepele. Apalagi dalam negara, dimana
negara terdapat perbedaan dari berbagai suku bangsa.
Al Hakim (2002: 67)
mendefinisikan konflik sebagai berikut.
Perbedaan atau
pertentangan ide, pendapat, paham, dan kepentingan di antara dua pihak atau
lebih. Pertentangan ini biasanya berupa fisik dan nonfisik, yang pada umumnya
berkembang dari pertentangan nonfisik menjadi benturan fisik, yang bias
berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent)
dan bisa berkadar rendah yang tidak bisa menggunakan kekerasan (nonviolent).
Berdasarkan keterangan diatas sudah
cukup jelas bahwa faktor utama penyebab terjadinya konfik sara adalah adanya
perbedaan ide, gagasan, dan pandangan hidup, suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).
Hal ini juga ditegaskan oleh Putra
(2011: 4) yang menyebutkan faktor yang menyebabkan konflik SARA antara lain:
a. Perbedaan
individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan
b. Perbedaan
kepentingan antara individu atau kelompok.
“Pada konsep suku, agama, ras dan antargolongan (SARA)
tertuang pengertian konflik horisontal yang dimotori oleh suku, agama dan ras
dan juga konflik vertikal yang bersumber pada perbedaan ‘ekonomi-politik’
antargolongan” Mullah dalam Nugroho (1997: 6).
Selain itu fanatisme kesukuan juga merupakan
penyebab terjadinya konflik terutama di konflik antar suku. Perbedaan ide,
gagasan dan pandangan hidup terjadi karena setiap daerah memiliki latar
belakang yang berbeda-beda. Setiap daerah
memiliki norma-norma tersendiri dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat.
Mereka mempunyai anggapan bahwa keyakinan yang dianut saat ini merupakan
peninggalan nenek moyang mereka. Keyakinan tersebut tentu sulit untuk
ditinggalkan. Untuk itu perbedaan yang berlatar belakang dari berbagai daerah
perlu disatukan guna mencapai tujuan nasional.
Sebagai contoh, peristiwa Ambon dan
Poso merupakan salah satu konflik antaragama, perang Sampit merupakansalah satu
konflik antar etnis, dan lain-lain. Konflik-konflik yang sering terjadi pada
bangsa Indonesia akan memberikan dampak negatif yang berupa terpecahnya
persatuan bangsa. Terpecahnya persatuan bangsa dapat mengakibatkan kurangnya
ketahanan nasional. Karena rasa nasionalisme yang dimiliki oleh masyarakat
masih rendah. Hal ini disebabkan karena sifat fanatisme kedaerahan yang sanggat
tinggi.
Fanatisisme kesukuan yang tinggi
mendorong rasa kebersamaan antara daerah semakin kuat. Kebersamaan tersebut
bisa dalam bentuk positif maupun negatif. Kebersamaan dalam bentuk positif
dapat diimplikasikan dalam bentuk gotong royong, kerja sama yang baik,
melestarikan kebudayaan daerah, dan lain-lain. Kebersamaan negatif dapat terjadi
karena adanya konflik antara dua individu, tetapi masyarakat yang lain turut
serta dalam konflik tersebut. Keikutsertaan tersebut bukannya menyelesaikan
masalah tetapi malah menambah masalah semakin besar. Mereka beranggapan bahwa keikutsertaan
membantu pihak yang mempunyai konflik sama dengan membela daerah mereka
masing-masing.
2.3. Solusi Mengatasi Konflik Suku, Ras, Agama dan Antargolongan (SARA)
Konflik yang berkepanjangan dapat
mengakibatkan rusaknya ketahanan nasional. Konflik tersebut terjadi karena
adanya perbedaan. Perbedaan dalam sudut pandang suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA). Al Hakim (2002: 71) menyebutkan “Konflik dapat
berpengaruh baik atau jelek karena konflik merupakan kondisi alamiah dalam
kehidupan’’. Berdasarkan kutipan tersebut memberikan gambaran bahwa konflik
harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan perpecahan antar manusia dan disintegrasi bangsa.Untuk itu setiap
orang harus dapat memahami situasi seperti ini dan memberikakn perhatian
tersendiri bagaimana cara yang tepat untuk mengelola konflik.
Qodir menyatakan jika konflik melibatkan masa (agama
maupun non agama), harus dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Tindakan
koersif (paksaan), perlu ada pengaturan administrative,
penyelesaian hukum, tekanan politik dan ekonomi
b. Memberikan
insentif seperti memberikan penghargaan kepada komunitas yang mampu menjaga
keterlibatan dan keharmonisan masyarakat
c. Tindakan
persuasif, terutama terhadap ketidakpuasan yang dihadapi masyarakat dalam
menghadapi realitas sosial, politik dan ekonomi
d. Tindakan
normatif, yakni melakukan proses
pembangunan presepsi dan keyakinan masyarakatakan sistem sosial yang
akan dicapai.
Menurut Putra (2011: 5) upaya yang
dapat dilakukan untuk menanggulangi konflik suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA) adalah sebagai berikut.
a. Membangun dan menghidupkan terus
komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu
b. Menciptakan kondisi dan membiasakan
diri untuk selalu membangun consensus
c. Membangun kelembagaan (pranata) yang
berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
d. Merumuskan kebijakan dan regulasi yang
konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa yang
mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah
e. Upaya
bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan
bijaksana serta efektif
Sedangkan Solusi yang
ditawarkan oleh para pengamat sosial tersebut adalah berupaya mendeskripsikan
akar-akar persoalan amuk massa secara mendasar, memahami dengan kepentingan
emansipatoris, dan mencari jalan keluar secara praktis lewat kelenturan politik
yang mengarah pada demokratisasi. Pendekatan seperti ini tidak salah, bahkan
pada jenjang tertentu memiliki relevansinya, karena memang berbagai informasi
sosial-ekonomi menunjukan bahwa kita mengalami tingkat kesenjangan antar daerah
dan kelompok yang cukup signifikan untuk munculnya fenomena disintegrasi
sosial. Bahkan pendekatan seperti ini banyak mendapat dukungan dari para
ilmuwan sosial yang kurang puas terhadap pendekatan modernisme. Namun kalau
diamati secara seksama, ada satu wacana yang tidak muncul, atau memang sengaja
tidak dimunculkan karena kepentingan politis, dalam upaya mencari penjelas
kerusuhan sosial, yaitu wacana sosiologi pengetahuan (Berger dan Luchman dalam
Nugroho 1997:5).
Berdasarkan pernyataan
diatas dapat diketahui solusi-solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi
konflik suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), namun akan lebih baik apabila
menghindari konflik tersebut guna mencapai keamanan dan kenyamanan agar dapat
mencapai tujuan nasional. Tetapi pada kenyataannya konflik tetap saja terjadi,
karena konflik merupakan hal alamiah yang tidak bisa kita pungkiri.
“SARA merupakan
kenyataan sosial maka keberadaannya tidak dapat dilenyapkan. Bahkan setiap
upaya untuk melenyapkan dengan dalih apapun, termasuk menuju unifikasi melalui
‘monolitikisasi’ masyarakat,
cenderung akan menimbulkan keresahan, gejolak sosial, kerusuhan massa, dan
pasti berakhir dengan disintegrasi sosial” Nugroho (1997:7).
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Ideologi
mendukung ketahanan suatu bangsa karena ideologi bagi suatu bangsa memiliki dua
fungsi pokok yaitu sebagai tujuan atau cita-cita dari kelompok masyarakat yang
bersangkutan artinya nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi itu menjadi
cita-cita yang hendak dituju secara bersama dan sebagai sarana pemersatu dari
masyarakat yang bersangkutan, artinya masyarakat yang banyak dan beragam itu
bersedia menjadikan ideologi sebagai milik bersama dan menjadikannya
bersatu.Dengan demikian adanya ideologi bangsa yang mempersatukan masyarakat
diseluruh Indonesia akan membantu terciptanya ketahanan nasional.
2. Konflik
merupakan perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, paham, dan kepentingan di antara dua pihak atau
lebih. Pertentangan ini biasanya berupa fisik dan nonfisik, yang pada umumnya
berkembang dari pertentangan nonfisik menjadi benturan fisik, yang bias
berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent)
dan bisa berkadar rendah yang tidak bisa menggunakan kekerasan (nonviolent). Pada intinya faktor utama penyebab
terjadinya konfik sara adalah adanya perbedaan. Perbedaan tersebut dapat berupa
perbedaan ide, gagasan, dan pandangan hidup, suku, agama, ras, dan
antargolongan yang berupa individu ataupun kelompok. Selain itu fanatisme suku,
agama, ras, dan antargolongan juga dapat memicu terjadinya konflik.
3.
Solusi yang dapat dilakukan untuk
mengatasi konflik SARA adalah melalui tindakan koersif (paksaan), memberikan
insentif seperti memberikan penghargaan kepada komunitas yang mampu menjaga
keterlibatan dan keharmonisan masyarakat,tindakan persuasif, dan tindakan
normatif, yakni melakukan proses
pembangunan presepsi dan keyakinan masyarakatakan sistem sosial yang
akan dicapai.selain iti dapat juga dilakukan dengan cara membangun dan
menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu, menciptakan
kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun consensus, membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai
dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa, merumuskan kebijakan
dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan
pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah,
upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang
arif dan bijaksana serta efektif.
3.2 Saran
1. Bagi pemerintah
Pemerintah selaku pengatur jalannya
kenegaraan hendaknya memberikan sosialisasi bagi masyarakat tentang pentingnya
persatuan guna mencapai ketahanan nasional dan tujuan negara. Selain itu
pemerintah hendaknya berperan sebagai figur yang dapat dijadikan contoh bagi
masyarakat. Terutama dalam hal menyikapi perbedaan yang ada di Indonesia.
2.
Bagi masyarakat
Masyarakat yang
merupakan salah satu unsur dari terbentuknya suatu negara hendaknya menyadari
bahwa di Indonesia merupakan negara multicultural.
Sebagai bangsa Indonesaia, dengan adanya perbedaan tersebut tentunya kita harus
bangga. Karena perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia merupakan kekayaan
yang mungkin tidak dimiliki oleh bangsa lain. Oleh karena itu, penulis
menyarankan agar tetap menjaga perbedaan tersebut agar tidak terjadi konflik
yang tidak diinginkan. Hal tersebut dpat dilakukan dengan cara saling toleransi
antar suku, agama, ras, dan antargolongan. Selain itu perlu adanya kesadaran
dari setiap individu bahwa bangsa Indonesia terbentuk dari berbagai macam suku
bangsa. Sehingga tumbuh dalam diri individu rasa kebersamaan akan pentingnya
persatuan guna mencapai ketahanan nasional.
DAFTAR
RUJUKAN
- Al Hakim, S. dkk. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Malang: UM PRESS.
- Kaelan, & Zubaidi, A. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma.
- Kansil, CST. 1990. Hidup Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
Ketahanan Nasional.1995. (Online), ( http://elib.unikom.ac.id /files/disk1 /465/ jbptunikompp-gdl-sylviaocta-23234-7-ketahana-l.doc), diakses 23 November 2012.
- Nugroho, H. 1997. Dekonstruksi Wacana SARA Negara dan Implikasinya Terhadap Kemajemukan Masyarakat Indonesia. Jurnal Ilmi Sosial dan Ilmu Politik, (Online), 1 (2): 1-11, (http://scholar.google.co.id/scholar?q=jurnal+faktor+penyebab+konflik+sara&btnG=&hl=id&as_sdt=0%2C5), diakses 30 November 2012.
- Putra, A.N. 2011. Konflik di Indonesia dan Makna Pancasila. (Online), (http://research.amikom.ac.id/index.php/STI/article/view/5165/3963), diakses 30 November 2012.
- Qodir, Z. Tanpa Tahun. Kebhinekaan, Kewarganegaraan, dan Multikulturalisme. (Online),(http://www.journal.uii.ac.id/index.php/Unisia/article/view/148/112 ), diakses 30 November 2012.
- Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian. Edisi Kelima. Malang: Universitas Negeri Malang.